Citra Telematika

Tempat Kursus dan Pelatihan Komputer di Majalengka, Menyelenggarakan: Program Profesi 1 tahun Bisnis Digital, Aplikasi Perkantoran, Desain Grafis, Jaringan Komputer, Pemograman Komputer
Breaking News
recent

PERNIKAHAN DALAM ISLAM

PERNIKAHAN DALAM ISLAM


Hasil gambar untuk pernikahan dalam islam


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pernikahan dalam pandangan Islam merupakan sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna ibadah guna Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggungjawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan. Dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan adalahikatan berlahiran bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan merangkai keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal menurut keterangan dari Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sedangkan tujuan pernikahan merupakan sebagaimana difirmankan Allah s.w.t. dalam surat Ar-Rum ayat 21 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalahDia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu hendak dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah warahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya guna orang-orang yang berfikir”. Mawaddah warahmah merupakan anugerah Allah yang di berikan kepada manusia, saat insan mengerjakan pernikahan.
Pernikahan merupakansunah nabi Muhammad saw. Sunnah diartikan secara singkat merupakan, mencontoh tindak laku nabi Muhammad saw. Perkawinan diisyaratkan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridha Allah SWT, dan hal ini telah diisyaratkan dari sejak dahulu, dan telah tidak tidak banyak sekali dijelaskan di dalam al-Qur’an:

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. bila mereka tidak cukup mampu Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (QS. an-Nuur ayat 32).

BAB II
PEMBAHASAN


A. Definisi dan Dasar Hukum Nikah.

Istilah nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu ( النكاح ), adapula yang menyebutkan perkawinan menurut penjelasan dari istilah fiqh dipakai perkataan nikah dan perkataan zawaj.[1][7] Sedangkan menurut penjelasan dari istilah Indonesia merupakan perkawinan. Dewasa ini tidak jarang kali diceraikan antara pernikahan dan perkawinan, akan tetapi pada prinsipnya perkawinan dan pernikahan hanya berbeda dalam menarik akar katanya saja.[2][8] Perkawinan merupakan ;

عبارة عن العقد المشهور المشتمل على الأركان والشروط
Sebuah ungkapan tentang akad yang sangat jelas dan terangkum atas rukun-rukun dan kriteria-syarat.[3][9]

Para ulama fiqh pengikut mazhab yang empat (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali) pada umumnya mereka mendefinisikan perkawinan pada :

عقد يتضمن ملك وطء بلفظ انكاح أو تزويج أو معناهما
Akad yang membawa kebolehan (bagi seorang laki-laki guna terkaitbadan dengan seorang perempuan) dengan (diawali dalam akad) lafazh nikah atau kawin, atau makna yang serupa dengan kedua kata tersebut.[4][10]

Dalam kompilasi hukum islam dijelaskan bahwa perkawinan merupakan pernikahan, yaitu akad yang powerful atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakanibadah. Dari sebanyak terminologi yang telah dikemukakan nampak jelas sekali terlihat bahwa perkawinan merupakan fitrah ilahi. Hal ini dilukiskan dalam Firman Allah:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalahDia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu hendak dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda guna kaum yang berfikir. (QS.Ar-Rum ayat 21)

B. Rukun Nikah

1. WALI
Berdasarkan sabda Rasulullah Sallallahu `Alaihi Wasallam:

ايُّمَا امْرَأةِ نُكِحَتْ بِغَيْرِ اذِنِ وَلِيْهَا، فَنِكَحُهَا بَاطِلٌ. بَاطِلٌ
Artinya : “ Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal… batal.. batal.” (HR Abu Daud, At-Tirmidzy dan Ibnu Majah)

2. SAKSI
Rasulullah sallallahu `Alaihi Wasallam bersabda:


لاَ نِكَاحَ الاَّ بِوَلِي وَ شَاهِدَيْ عَدْلِ
Artinya : “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.”(HR Al-Baihaqi dan Ad-Daaruquthni. Asy-Syaukani dalam Nailul Athaar berkata : “Hadist di kuatkandengan hadits-hadits lain.”)

3. AKAD NIKAH
Akad nikah merupakan perjanjian yang digelar antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.

Ijab merupakan penyerahan dari pihak kesatu, sedangkan qabul merupakan penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang memiliki nama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Qabul merupakan penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang memiliki nama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”

Dalam aqad nikah ada sebanyak syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi:
1. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
2. Adanya Ijab Qabul.
3. Adanya Mahar.
4. Adanya Wali.
5. Adanya Saksi-saksi.

Untuk terjadinya aqad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada suami istri haruslah memenuhi syarat-syarat berikut ini :
1. Kedua belah pihak sudah tamyiz.
2. Ijab qobulnya dalam satu majlis, yakni saat menyampaikan ijab qobul tidak boleh diselingi dengan ucapan-ucapan lain, atau menurut penjelasan dari adat dialami ada penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab qobul.

Di dalam ijab qobul haruslah dipergunakan ucapan-ucapan yang dipahami oleh masing-masing pihak yang menggarap aqad nikah sebagai menyatakan kemauan yang timbul dari kedua belah pihak untuk nikah, dan tidak boleh menggunakan ucapan-ucapan kasar. Dan menurut penjelasan dari sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.

Syeikh Abu Bakar Jabir Al-Jazaairi berkata dalam kitabnya Minhaajul Muslim. “Ucapan ketika akad nikah seperti: Mempelai lelaki : “Nikahkanlah aku dengan putrimu yang memiliki nama Fulaanah.” Wali wanita : “Aku nikahkan kamu dengan putriku yang memiliki nama Fulaanah.” Mempelai lelaki : “Aku terima nikah putrimu.”

4. MAHAR (MAS KAWIN)
Mahar merupakan tanda kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang wanita. Mahar juga adalahpemberian seorang laki-laki untuk wanita yang dinikahinya, yang selanjutnya akan menjadi hak milik istri secara penuh. Kita bebas menilai bentuk dan jumlah mahar yang anda mau sebab tidak ada batasan mahar dalam syari’at Islam, tetapi yang disunnahkan merupakan mahar itu disesuaikan dengan kemampuan pihak calon suami. Namun Islam menyarankan supaya meringankan mahar. Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik mahar merupakan mahar yang paling mudah (ringan).”(H.R. Al-Hakim: 2692)

C. Khitbah ( peminangan )
Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut guna walinya.
Apabila seorang pria memahami perempuan yang bercita-cita dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144)

Yang perlu diperhatikan oleh wali
Ketika wali si wanita didatangi oleh lelaki yang bercita-cita meminang si wanita atau ia bercita-cita menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan perkara berikut ini:
1. Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya lelaki yang demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya pun mengamini maka hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:


فَسَادٌ عَرِيْضٌ إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَ
“Apabila datang guna kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al- Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)

2. Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.
Persetujuan seorang gadis merupakan dengan diamnya sebab seringkali ia malu.

D. Hukum Menikah
Adapun hukum menikah, dalam pernikahan berlaku hukum taklifi yang lima yaitu :
1. Wajib guna orang yang telah dapat nikah,sedangkan nafsunya telah mendesak untuk menggarap persetubuhan yang dikhawatirkan akan terjerumus dalam praktek perzinahan.
2. Haram guna orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan nafkah berlahiran dan batin guna calon istrinya,sedangkan nafsunya belum mendesak.
3. Sunnah guna orang yang nafsunya telah mendesak dan mempunyai kemampuan untuk nikah,tetapi ia masih dapat menahan diri dari mengerjakan haram.
4. Makruh guna orang yang lemah syahwatnya dan tidak bisa member mengerjakan pembelian barang calon istrinya.
5. Mubah guna orang tidak terdesak oleh alas an-alasan yang mewajibkan segera nikah atau karena alas an-alasan yang mengharamkan untuk nikah.

E. Anjuran Islam
Islam sudah menyarankan untuk insan guna menikah. Dan terdapat tidak tidak banyak hikmah di balik anjuran tersebut. Antara lain merupakan :

1. Sunnah Para Nabi dan Rasul


وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَن يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus sebanyak Rasul sebelum kamu dan Kami menyerahkan untuk mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak guna seorang Rasul mengakibatkan sesuatu ayat namun dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab. (QS. Ar-Ra'd : 38).

Dari Abi Ayyub ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Empat hal yang merupakansunnah seluruh rasul : [1] Hinna',1 [2] berparfum, [3] siwak dan [4] menikah. (HR. At-Tirmizi 1080)

2. Bagian Dari Tanda Kekuasan Allah

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalahDia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu hendak dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda guna kaum yang berfikir.(QS. Ar-Ruum : 21)

3. Salah Satu Jalan Untuk Menjadi Kaya


وَأَنكِحُوا الأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka tidak cukup mampu Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui.(QS. An-Nur : 32)

4. Ibadah Dan Setengah Dari Agama
Dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang diberi rizki oleh Allah SWT seorang istri shalihah berarti telah dibantu oleh Allah SWT pada separuh agamanya. Maka dia tinggal menyempurnakan separuh sisanya. (HR. Thabarani dan Al-Hakim 2/161).

5. Tidak Ada Pembujangan Dalam Islam
Islam berpendirian tidak ada pelepasan kendali gharizah seksual untuk dilepaskan tanpa batas dan tanpa ikatan. Untuk itulah maka diharamkannya zina dan seluruh yang membawa untuk tindakan zina.Tetapi di balik itu Islam juga menentang setiap perasaan yang bertentangan dengan gharizah ini. Untuk itu maka dianjurkannya supaya kawin dan tidak memperbolehkan hidup membujang dan kebiri.

Seorang muslim tidak halal menentang perkawinan dengan anggapan, bahwa hidup membujang itu demi berbakti guna Allah, sebetulnya dia bisa kawin; atau dengan alasan supaya dapat seratus persen mencurahkan hidupnya untuk beribadah dan memutuskan hubungan dengan duniawinya.
Abu Qilabah menyebutkan "Beberapa orang sahabat Nabi bermaksud akan menjauhkan diri dari duniawi dan meninggalkan perempuan (tidak kawin dan tidak menggaulinya) serta akan hidup membujang. Maka berkata Rasulullah s.a.w, dengan nada marah lantas ia berkata:
'Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur lantaran keterlaluan, mereka memperketat terhadap diri-diri mereka, oleh sebab tersebut Allah memperketat juga, mereka itu akan tinggal di gereja dan kuil-kuil. Sembahlah Allah dan tidak boleh anda menyekutukan Dia, berhajilah, berumrahlah dan berlaku luruslah kamu, maka Allah pun akan meluruskan kepadamu.
Kemudian turunlah ayat:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُحَرِّمُواْ طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللّهُ لَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu mengharamkan yang baik-baik dari apa yang dihalalkan Allah untuk kamu dan tidak boleh anda melalui batas, karena sesungguhnya Allah tidak suka guna orang-orang yang melewati batas. (QS. Al-Maidah: 87)

6. Menikah Itu Ciri Khas Makhluk Hidup
Selain itu secara filosofis, menikah atau berpasangan itu merupakan adalahciri dari makhluq hidup. Allah SWT telah menegaskan bahwa makhluq-makhluq ciptaan-Nya ini diciptakan dalam bentuk berpasangan satu sama lain.


وَمِن كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.(QS. Az-Zariyat : 49)

F. Tujuan Nikah
Orang yang menikah sepantasnya tidak hanya bertujuan untuk menunaikan syahwatnya semata, sebagaimana tujuan tidak sedikit sekali insan pada hari ini. Namun hendaknya ia menikah karena tujuan-tujuan berikut ini:
1. Melaksanakan anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ...
“Wahai sekalian seluruh pemuda! Siapa di antara kalian yang sudah dapat guna menikah maka hendaknya ia menikah….”

2. Memperbanyak keturunan umat ini, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.”

3. Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, menundukkan pandangannya dan pandangan istrinya dari yang haram. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah (ya Muhammad) guna laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan mengasuh kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci guna mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah guna wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan mengasuh kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)

G. Hikmah Pernikahan
1. Untuk menjaga kesinambungan generasi manusia.
2. Menjaga kehormatan dengan kiat menyalurkan kebutuhan biologis secara syar'i.
3. Kerja sama suami-istri dalam mendidik dan merawat anak.
4. Mengatur tempat tinggal tangga dalam kerjasama yang produktif dengan memperhatikan hak dan kewajiban.

H. Pemikiran Tentang Pencatatan Perkawinan di Indonesia.
Undang-undang RI tentang Perkawinan No. 1 tahun 1974 diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Berdasarkan penjelasan dari UU Perkawinan, perkawinan adalahikatan berlahiran batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan merangkai keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal menurut keterangan dari Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan).

Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi:
1. Perkawinan merupakan sah, apabila dilakukan menurut penjelasan dari hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut penjelasan dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Hal ini terus terjadi karena perkawinan menurut penjelasan dari agama dan kepercayaannya sudah dialami sah, tidak tidak banyak pasangan suami istri tidak mencatatkan perkawinannya. Alasan yang paling umum ialah ongkos yang mahal dan prosedur berbelit-belit. Alasan lain, sengaja untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan ABRI). Perkawinan tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah perkawinan bawah tangan atau nikah sirri.

Secara garis besar, perkawinan yang tidak dicatat di negara Indonesia ini sama saja dengan membiarkan adanya hidup bersama dengan status hukum yang tidak tetap, dan ini sangat merugikan seluruh pihak yang terlibat (terutama perempuan), terlebih lagi bila telah ada anak-anak yang dilahirkan. Mereka yang dilahirkan dari orang tua yang hidup bersama tanpa dicatatkan perkawinannya, memiliki akibat hukum dengan dijadikannya satus anak tersebut sama dengan anak yang berlahiran dari perkawinan diluar nikah, sehingga anak tersebut hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, dalam arti tidak mempunyai hubungan hukum dengan bapaknya. Dengan perkataan lain secara yuridis tidak mempunyai bapak.

Sebenarnya, tidak ada paksaan guna masyarakat untuk mencatatkan perkawinan. Dalam artian, bila kita tidak mencatatkan perkawinan, bukan berarti kita menggarap suatu kejahatan. Namun jelas pula bahwa hal ini memberikan dampak atau konsekuensi hukum tertentu yang khususnya merugikan perempuan dan anak-anak. Kemudian, ketika seseorang tidak dapat menunjukkan terjadinya perkawinan dengan akta nikah, dapat menyampaikan permohonan itsbat nikah (penetapan atau pengesahan nikah) guna pengadilan agama.

I. Nikah Siri
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan:[5][1]
1. Pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri), diakibatkan pihak wali perempuan tidak setuju atau sebab memandang absah pernikahan tanpa wali atau hanya karena berkeinginan memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat.

2. Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara.
Faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya pernikahan sirri merupakan:
1. Nikah sirri dilakukan karena hubungan yang tidak direstui oleh orang tua kedua pihak atau salah satu pihak. Misalnya orang tua kedua pihak atau salah satu pihak berniat menjodohkan anaknya dengan calon pilihan mereka. Orang tuanya menikahkan siri dengan tujuan untuk mengikat dulu supaya tidak diambil oleh orang lain.
2. Nikah sirri dilakukan karena adanya hubungan terlarang, contohnya di antara atau kedua pihak sebelumnya pernah menikah secara sah dan sudah mempunyai istri atau suami yang resmi, tetapi berkeinginan menikah lagi dengan orang lain.
3. Nikah sirri dilakukan dengan dalih menghindari dosa karena zina. Kekhawatiran karena hubungannya yang semakin hari semakin dekat, menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya perbuatan yang melanggar syariah. Pernikahan siri dialami sebagai penyelesaian yang bisa menghalalkan gejolak cinta sekaligus menghilangkan kekhawatiran terjadinya zina.
4. Nikah sirri dilakukan karena pasangan merasa belum siap secara latihan dan secara sosial. Hal ini biasa dilakukan oleh seluruh mahasiswa, disamping sebab cemas terjadi zina, mereka masih kuliah, belum punya persiapan bila harus terbebani masalah tempat tinggal tangga. Status pernikahanpun masih disembunyikan supaya tidak menghambat pergaulan dan pekerjaan dengan teman-teman di kampus.
5. Nikah sirri dilakukan karena pasangan memang tidak tahu dan tidak mau tahu prosedur hukum. Hal ini bisa terjadi pada suatu masyarakat wilayah desa terpencil yang jarang bersentuhan dengan dunia luar. Lain lagi dengan komunitas jamaah tertentu misalnya, yang memandang bahwa kyai atau pemimpin jamaah merupakan rujukan utama dalam semua permasalahan termasuk urusan pernikahan. Asal sudah dinikahkan oleh kyainya, pernikahan sudah sah secara Islam dan tidak perlu dicatatkan, juga nikah sirri dilakukan untuk menghindari beban biaya dan prosedur administrasi yang berbelit-belit.
6. Nikah sirri dilakukan hanya untuk penjajagan dan menghalalkan hubungan badan saja. Bila setelah menikah ternyata tidak ada kecocokan maka akan mudah menceraikannya tanpa harus melewati prosedur yang berbelit-belit di persidangan. Dilihat dari tujuannya, hal ini sangat merendahkan posisi perempuan yang dijadikan objek semata, tanpa ada penghargaan terhadap lembaga pernikahan baik secara islam maupun secara hukum.

Di Indonesia telah terjadi pembaharuan hukum di bidang hukum keluarga, dengan disahkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan penjelasan dari UU ini, perkawinan adalahikatan berlahiran batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan merangkai keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal menurut keterangan dari Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan).

 Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi:
1. Perkawinan merupakan sah, apabila dilakukan menurut penjelasan dari hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut penjelasan dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku.[6][2]

Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. “Bagi mereka yang menggarap perkawinan menurut penjelasan dari agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan di samping Islam, lumayan memakai dasar hukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9 tahun 1975” dengan dicatat di kantor susunan sipil.[7][3]

Namun yang terjadi di lapangan merupakan, terjadi dikotomi antara apa yang dipahami sebagai kriteria sah perkawinan menurut kelompok tradisional dengan kelompok modern. Kali ini, fenomena itu dipicu dengan keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengesahkan pernikahan di bawah tangan. Pengesahan ini diperoleh dari forum ijtima yang dihadiri lebih dari 1000 ulama dari sekian tidak sedikit bagian di Indonesia. Acara itu dilangsungkan sejumlah waktu lantas di kompleks pondok modern Darussalam Gontor, Pacitan, Jawa Timur”[8][4].

Pembahasan mengenai pernikahan di bawah tangan ini menghasilkan dua jawaban:
1. Peserta ijtima’ ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara sah pada instansi berwenang, sebagai langkah prefentif untuk menolak dampak negatif atau mudharat.
2. Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhinya kriteria dan rukun nikah, tetapi haram bila ada mudharat.[9][5]

Dua jawaban di atas menunjukkan ketidak tegasan MUI dalam menanggapi masalah nikah di bawah tangan tersebut. Hal tersebut berbeda dengan pemikiran modern yang terus berjuang untuk melaksanakan pencatatan nikah sebagai bagian dari rukun nikah sehingga tidak terdapat kemudharatan dan dapat dijadikan sebagai perlengkapan perlindungan terhadap wanita. Berdasarkan penjelasan dari Muhammad Quraish Shihab setiap perkawinan yang dilakukan di Indonesia harus dicatatkan guna pemerintah untuk memperoleh status hukum yang pasti.[10][6]

Sebagai contoh bahayanya nikah tidak dicatat adalah, seseorang akan menikmati kegagalan untuk mendapatkan kepastian hukum, melulu sebab tidak dapat menunjukkan bukti yang otentik tentang identitas pribadi seseorang. Misalnya dalam keluarga, akta perkawinan mempunyai aspek hukum untuk digunakan sebagai bukti bila dalam keluarga terjadi peristiwa kematian. Misalnya seorang suami meninggal dunia, dengan meninggalkan seorang isteri dan tiga orang anak, yang akan tampil secara bersama-sama sebagai kawakan waris dari si suami (yang meninggal).

Bagaimana caranya untuk menunjukkan bahwa kawakan waris tersebut merupakan isteri yang sah dari suaminya yang telah meninggal dunia. Demikian pula bagaimana caranya untuk menunjukkan bahwa ketiga anak tersebut benar-benar anak kandung yang sah (nasabnya guna orang tuanya). Dalam hal ini, tidak akan timbul kesulitan apabila telah memiliki bukti otentik berupa akta perkawinan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Dengan kata lain, dapat dijelaskan bahwa dengan akta perkawinan, maka isteri yang ditinggalkan oleh suaminya mempunyai suatu pegangan (alat bukti) yang menunjukkan bahwa dia benar-benar sebagai janda dari si suami yang telah meninggal dunia.

Berdasarkan pemaparan di atas maka jelaslah bahwa aspek hukum dari pencatatan nikah merupakan untuk memperoleh suatu kepastian hukum dalam hal perkawinan dan nasab anak. Segala peristiwa itu dicatat, karena sebagai sumber adanya kepastian perkawinan di bawah tangan tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya pada saat terjadinya koflik dan pertengkaran yang berujung dengan perceraian walau perceraian itu tersebut juga di bawah tangan juga.

J. Putusan MUI Tentang Nikah di Bawah Tangan.
Kewenangan MUI dalam berfatwa merupakan tentang :
1. Masalah-masalah keagamaan yang memiliki sifat umum dan menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional; dan

2. Masalah-masalah keagamaan di sebuah wilayah yang diduga dapat meluas ke distrik lain. (pasal 10).
Adapun tentang nikah di bawah tangan dijelaskan di dalam diskripsi masalahnya bahwa nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini merupakan “Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan kriteria yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Perkawinan seperti itu dipandang tidak mengisi peraturan ketentuan perundang-undangan dan seringkali menimbulkan dampak negatif (mudharat) terhadap istri dan atau anak yang dilahirkannya bersangkutan dengan hak-hak mereka seperti nafkah, hak waris dan lain sebagainya. Tuntutan pemenuhan hak-hak tersebut manakala terjadi sengketa akan sulit dipenuhi akibat tidak adanya bukti susunan resmi perkawinan yang sah.

Komisi fatwa MUI sengaja memakai istilah pernikahan di bawah tangan. Di samping untuk mengasingkan dengan pernikahan siri yang sudah dikenal di masyarakat. Istilah ini lebih sesuai dengan ketentuan agama Islam. Nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini merupakan pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan kriteria yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam). Namun, nikah ini tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.

Oleh karenanya, peserta ijtima ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara sah pada instansi berwenang, sebagai langkah prefentif untuk menolak dampak negatif atau al-mudharat (saddan li adz-dzari’ah). Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhinya kriteria dan rukun nikah, tetapi haram bila ada sesuatu yang mudharat.

Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak secara konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan kriteria-syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat, pernikahan yang telah dilakukan hendaknya diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui walimatul-'ursy. Nabi saw bersabda:

أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ(رواه ابن ماجة عن عائشة)
Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana (HR. Ibnu Majah dari 'Aisyah).


أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ (رواه البخارى عن عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ)
Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing (HR. al-Bukhari dari 'Abdurrahman bin 'Auf).

Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan, pembuktiannya cukup dengan perlengkapan bukti persaksian.
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya sebab evolusi dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di sebanyak negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang menggarap perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain.

Melalui pencatatan perkawinan yang ditunjukkan dengan akta nikah, apabila terjadi bentrokan salah satu suami isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat menggarap upaya hukum guna mengawal atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara mereka. Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya undang-undang atau peraturan lainnya, merupakan merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut penjelasan dari hukum Islam. Perubahan hukum semacam ini merupakan sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:

لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ
Tidak diingkari perubahan hukum sebab evolusi zaman.
Ibnu al-Qayyim menyatakan[14][14] :

تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ
Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut penjelasan dari evolusi zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang pengarang salah satu anda menuliskannya dengan benar. (Al-Baqarah ayat 282)

Akad nikah bukanlah muamalah biasa, akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an :
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, sebetulnya sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS.An-Nisa ayat 2)

Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.
Dengan demikian mencatatkan perkawinan berisi untuk atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang menggarap perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak.[15][15]
Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakansalah satu prinsip dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam kaidah:

تَصَرُّفُ اْلاِمَامُ عَلىَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَة
Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya.


K. Hak istri atas suami (yaitu hak istri yang harus dipenuhi oleh suami)
1) Terkait kebendaan
Salah satunya merupakan memberikan mahar. Karena mahar merupakankeadilan dan kemuliaan untuk semua wanita. Harta suami merupakan harta istri, harta istri merupakan miliknya sendiri.
“Berikanlah maskawin guna wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib, kemudian bila mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS An Nisa 4)

Kedua merupakan memberikan mengerjakan pembelian barang (nafkah)
Memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal, pakaian, pengobatan. Dan kadar nafkah yang harus di berikan kepada istri janganlah berlebihan. Berikan secara wajar.
“…dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian untuk semua ibu dengan kiat ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut penjelasan dari kadar kesanggupannya.” (QS Al Baqarah 233)

2) Hak bukan kebendaan (rohaniyah)
   Pertama, mengejar pergaulan secara baik dan patut.
“…pergaulilah mereka (istri-istrimu) secara baik. Kamu tidak menyukai mereka (bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, sebetulnya Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An Nisa 19)

Kedua,Jangan sampai perbuatan dan perkataan suami menyakiti hati istrinya. Tahu sendiri kan hati perempuan tersebut laksana apa? Banyak ditemukan suami yang menghardik istrinya karena tak bisa melampiaskan kekesalan yang ada dalam hatinya.

 Ketiga, mengejar perlindungan dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya pada sebuah tindakan dosa dan maksiat atau ditimpa oleh tantangan dan mara bahaya. Maka, bila dia merupakan suami yang baik, dia tak akan pernah menjual istrinya ke rumah-rumah bordil atau tampil seksi di depan umum hanya untuk mengejar sesuap nasi. Hal itu bukanlah pernikahan. Jika terjadi seperti itu, gugat cerailah, karena pernikahan laksana tersebut tak akan mengakibatkan manfaat.

 Keempat, mengejar rasa tenang, kasih sayang, dan rasa cinta dari suaminya.

Kelima, mengejar pengajaran ilmu syariat dan akhlak. Kalau ada istri yang telah menunaikan kewajibannya dengan baik sebagai maka suami TIDAK BOLEH melarangnya untuk menghadiri majelis ilmu selama suami belum bisa memenuhi kebutuhan tersebut.

Keenam, berlaku adil saat mengerjakan poligami. Tenang, nggak semua pria berkeinginan melakukan poligami kok. Jadi jangan anti dengan kata yang satu ini.

L. Hak suami atas istri (Yaitu kewajiban yang HARUS dipenuhi istri guna suaminya)
Hak suami yang wajib dipenuhi istri merupakan hak yang sifatnya bukan benda, karena istri seharusnya tak dibebani kewajiban kebendaan yang diperlukan untuk mencukupkan kebutuhan hidup dalam tempat tinggal tangga. Bahkan diutamakan istri tak bekerja mencari nafkah. Hal ini dimaksudkan agar istri dapat fokus membina keluarga. Menjadi perkecualian bila tulang rusuk telah menjadi tulang punggung keluarga, yang muncul seperti persoalan TKW yang bekerja di luar negeri sedangkan suaminya “angon” di rumah, atau wanita sebagai single parent yang dicerai atau suaminya meninggal.
ü Pertama, menggauli suaminya secara layak sesuai dengan fitrahnya.
ü Kedua, memberikan rasa tenang dalam tempat tinggal tangganya.
ü Ketiga, taat dan patuh pada suami selama suami tidak menyuruhnya untuk menggarap perbuatan maksiat.
ü Keempat, menjaga dirinya dan harta suamninya bila suaminya tidak ada di rumah.
ü Kelima, menjauhkan sesuatu dari segala perbuatan yang tidak disukai suaminya. Termasuk di dalamnya merupakan mengundang teman lelaki dan perempuan nya ke tempat tinggal sekitar suami tidak ada.
ü Keenam, menjauhkan dari mengindikasikan muka yang tidak enak dipandang dan suara yang tidak enak didengar.
ü Ketujuh, tidak terbit lokasi tinggal tanpa seizin suami. Seiring teknologi yang semakin canggih izin lebih mudah dilakukan dengan mengirim sms, telepon dan media yang lain.

M. Hak bersama suami istri
Telah dihalalkan bergaul dan bersenang-senang di antara keduanya. Hanya saja dilarang untuk mendatangi istri di saat haid, nifas, ihram, dzihar (menyamakan punggung istrinya seperti punggung ibunya sehingga tak ada keinginan untuk menggaulinya). Seorang suami yang mendzihar istrinya harus membayar kafarat (denda) dengan mencungkil 1 budak atau puasa selama 2 bulan berturut-turut jika berkeinginan kembali pada istrinya.
1. Pertama, hak untuk saling mengejar warisan
2. Kedua, Hak untuk mendapatkan perwalian nasab anak
3. Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah. (Ar-Rum: 21)
4. Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing pasangannya. (An-Nisa’: 19 – Al-Hujuraat: 10)
5. Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa’: 19)
6. Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih)
7. Sedangkan kewajiban yang harus dilakukan bersama dalam tempat tinggal tangga guna suami istri merupakan memelihara dan mendidik anak keturunan yang berlahiran dari pernikahan dan mengasuh kehidupan pernikahan yang sakinah, mawaddah, dan rohmah.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.